Rabu, 14 September 2016

PEMUDA BERKEMEJA BIRU

PEMUDA BERKEMEJA BIRU

Seorang pemuda berkemeja biru  tersenyum  ketika melintas di depanku  . Tingginya kurang lebih 170 cm, kulitnya putih bersih, wajahnya oval, rambutnya hitam lebat.  Seketika di duniaku hanya ia yang hidup. 

“Mawar!“

Tiba-tiba seseorang memanggilku. Aku memutar badan menuju pusat suara. Ternyata Rumi teman satu kerjaku.

“Ya?”
“Mawar, Tolong  antarkan  berkas ini ke ruang dr. Stelly.”
“Oh, oke.”

Sedikit terganggu, Aku mengambil berkas tersebut dan bergegas mengantarkannya. 
Setelah itu, Aku kembali ke ruang jaga. Namun, pemuda itu telah menghilang. Berhari-hari Aku memikirkannya. Walaupun tidak mengganggu rutinitasku, tetapi  bayangan pemuda itu terus melekat dipikiranku.

“Ini gila! Untuk apa Aku memikirkan orang yang tidak kuketahui siapa dia!”

****

Arlojiku telah menunjukkan pukul 08.00 WIB. Antrian pasien di ruang tunggu sudah membludak dan tak menyisakan bangku kosong. Seketika, mataku  terhenti pada sosok familiar.  Bergegas Aku menghampirinya. Ternyata Ia  adalah teman SMA-ku. Namanya Raisya. 

“Raisa, Apa kabar? 
Masih ingat Aku?”

“Mawar!  Kamu apa kabar?”
“Alhamdulillah, sehat. Siapa yang sakit?“
“Aku, perut bagian bawahku sakit. Ternyata minggu kemarin saat ke dr. Giya, Aku di diagnosa usus buntu. Sehingga disarankan untuk konsultasi ke dokter bedah."

Diperjumpaan itu, Aku sedikit bernostalgia tentang masa SMA kami. Hingga akhirnya Aku mengakhiri perbincangan karena harus menjalankan tugas.  

“Aku tinggal ya Sya. Tetapi  dr. Puji belum datang. Mungkin setengah jam lagi Ia datang. Kamu tunggu dulu ya! Kebetulan Aku yang menjadi asisten beliau.“

“Ohya?” Raisa nampak melihat arlojinya.
 Setengah jam kemudian dr. Puji  datang. Setelah menunggu antrian, Raisya pun masuk ke ruang dokter dan menjalankan pemeriksaan. Ternyata dokter menyarankannya untuk  operasi usus buntu sore itu  karena kondisi Raisya sudah mengkhawatirkan. 

Selepas itu, Aku membantu Raisya menyelesaikan administrasi rawat inap.  Beruntung hari itu kamar rawat inap tidak penuh. Berbagai macam persiapan operasi  langsung dilakukan, seperti pemeriksaan laboratorium, radiologi dan puasa 8 jam sebelum operasi. Tepat pukul 12.00 Raisya masuk ke ruang perawatan sebelum dibawa ke kamar operasi tepat pukul 15.00 WIB.

“Mawar, thanks ya.“
“You’are welcome, Oya kamu sudah menghubungi keluarga?“
“Sudah. Mungkin  sore atau malam mereka ke sini.“
“Syukurlah, Aku tinggal ya.   Nanti malam  aku ke sini lagi.“

Usai mengantar Raisya dan melakukan operan pasien kepada perawat ruang rawat inap, Aku pun meninggalkan ruang perawatan. Tepat pukul 21.00 WIb setelah tugasku selesai, Aku kembali menemui Raisya yang sudah menjalankan operasi.

Raisya masih belum sadar karena efek anestesi yang belum hilang saat aku tiba di kamarnya. Ibunya menunggu dengan penuh kasih dan Aku bergegas menyapa beliau. Kami pun berbincang hangat. Tak beberapa lama kemudian, datang Kakak Raisya.

 “Dikta, akhirnya kamu datang juga!” Ibu Raisya bangkit.
 Mataku seketika seperti tidak  bisa mengerjab. Detak dadaku berdebar kencang tanpa bisa kucegah. Aku melihat sosok itu dengan jelas sekali. Sosok yang selama beberapa hari ini tidak pernah hilang dari pikiranku.

“Nak Mawar, kenalkan, ini Dikta, Kakak Raisya. Minggu lalu dia yang mengantar Rasiya ke rumah sakit ini.”

Di dunia ini memang tidak pernah ada yang namanya kebetulan. Tapi bertahun-tahun yang lalu, tidakkah aku sadar kalau Raisya memiliki kakak setampan ini? Ke mana saja aku?

  Oleh : Retno Puspitasary

Tidak ada komentar:

Posting Komentar